RSS

puisi tumpuan rasa dan kuniatkan

Tumpuan Rasa

Di kala senja bersama langit biru
Tak kan kubiarkan kekandasan menghampir
Karena banyak tumpuan yang harusku jadikan ruangku
Karena aku harus mencapai mega jelang nur nan sunyi & tentram
Dalam langkahku mencapai tumpuan
Terik surya menyilaukanku
Deru debu menyosong kegelapan
Seruan angin membisik dentum meriam
Serta air meruangkan ku menyeretku
Tuk bisa menerjang dengan ketulusan
Teruanglah ku dalam pantai
Menjadi mutiara diantara butir-butir pasir yang berserakan


K U N I A T K A N

Tak ingin kuhentikan
Aliran air kehidupan ini sampai di sini
Lebih utama jika ku pergi jauh
Jauh dari lamunanmu di balik tirai
Jauh di mukamu dengan riang wajah ini
Ingatlah harapanmu kala itu
Hampir saja pecah
Itu karena rasa ini
Karena aku yang ada dalam bayangmu
Biarkan tangisku berlalu selama 7 tahun mendatang
Hentilah tangis ketika aku dan dirimu bersama dalam bunga kesuksesan
Takkan ku biarkan tangismu dan tangisku
Tertadah dalam waktu yang lama
Hanya karena rasa ini..
Salam kasihku
Jadilah nur dalam kalbuku
Jadilah angin yang menyejukkan jiwaku
Dan jadilah pejuang yang berjihad demi rasa ini…..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Naskah cerita Sunan Kalijaga

SUNAN KALIJAGA
     


Ide cerita                   : Lulu’ Urrohmah
Naskah Karya          : Murdoko Ibnu . R .
Tekhnik & montase   : Lulu’ Urrohmah
                                      Elsi Yulianti
Narator                     : Rini Aryani
Sutradara                  :Lulu’ Urrohmah



Didukung para pemain :
Adhipati Wilwatikta oleh oleh Putra Josua
Dewi Ambarwati (Istri Adhipati) oleh Gaby
Raden Mas Said/ Sunan Kalijaga oleh M. Rakha
Dewi Rayung Wulan oleh Tia Chairunnisa
Patih Gajah Lembana oleh Agie
Senopati Yudha Pati oleh Ari Armanda
Dayang 1 oleh Elsi Yulianti
Dayang 2 oleh Rini Aryani
Dayang  3 oleh Lulu’ Urrohmah
Sunan Bonang oleh Dirgantara







Sebuah kisah yang menceritakan perjalanan hidup seseorang dalam mencari kebenaran hingga mendapatkan hidayah Allah dalam tataran ma’rifat lahiriyah juga batiniyahnya.
Prakisah : Perang saudara yang berkepanjangan di Majapahit, menyisakan penderitaan bagi seluruh rakyatnya, penyakit dan kelaparan terjadi dimana-mana.
Kadipaten Tuban salah satu bawahan Majapahit mau tidak mau terkena imbasnya, kelaparan dan kematian hampir setiap hari selalu terjadi.
Raden Mas Said putra Adhipati Wilwatikta tergerak hati untuk menolong rakyatnya, dengan mencuri bahan makanan dari lumbung Kadipaten dia bagikan untuk rakyatnya. Lama kelamaan perbuatannya tercium juga, berkurangnya bahan makanan di lumbung Kadipaten membuat Adhipati Wilwatikta marah besar. Ia memerintahkan Patih Gajah Lembana dan para senopatinya untuk menangkap pencuri itu hidup atau mati.



Setting 1, (Kadipaten Tuban).
Patih Gajah Lembana berhasil menangkap pencuri di Lumbung pangan Kadipaten, segera dihadapkan kepada Adhipati Wilwatikta.
Patih Gajah Lembana menghadap Adhipati membawa tawanan.
Patih Gajah Lembana    : “Maaf Kanjeng Adhipati hamba datang menghadap”, posisi berlutut sambil menyembah.
Adhipati                               : “Gajah Lembana.. Apa ini pencuri Istana Kadipaten?”.
Patih Gajah Lembana    : “Daulat Gusti, ini pencuri yang berhasil saya tangkap waktu menyusup ke lumbung pangan Kadipaten.
Adhipati                               : “Buka penutup wajahnya aku ingin tahu siapa orangnya..!!”, dengan nada tinggi atau memerintah.
Patih Gajah Lembana dan Senopati Yudhapati membuka penutup wajah tawanan itu, alangkah terkejutnya sang Adhipati juga permaisuri ketika mengetahui siapa dibalik penutup wajah itu. Ternyata pencuri yang selama ini meresahkan Kadipaten adalah Raden Mas Said yang tak lain putranya sendiri.
Adhipati                               : “Apa yang kau lakukan Said? Tega-teganya kau menampar ayahandamu sendiri?”
Raden Said                          : “Ampun ayahanda.. semua yang ananda lakukan untuk menolong rakyat Kadipaten Tuban yang kelaparan, kasihan mereka ayahanda. Apa ananda salah menolong rakyat Kadipaten?”
Adhipati                               : “Tidak salah kamu menolong, tapi kamu salah dalam menjalankannya, apa kamu tidak tahu Said? Bahan pangan itu akan dikirim ke Istana Majapahit, untuk membantu pasukan di sana?”
Raden Said                          : “Kenapa kita harus membantu Majapahit ayahanda? Sedangkan rakyat kita sendiri dalam kesusahan..?”
Adhipati                               : “Said!!! Tahu apa kamu tentang kerajaan?!! Sekarang kamu hentikan  perbuatanmu, atau kau akan menerima akibatnya?!
Raden Said                         : “Ampun ayahanda, kalau memang itu titah ayahanda, ananda akan tetap menolong rakyat Tuban.
Adhipati                               : “Kalau itu mau mu, mulai sekarang juga, tinggalkan Kadipaten Tuban, jangan pernah kembali ke Istana Tuban sebelum kamu bisa menggetarkan Istana Tuban dengan lantunan ayat-ayat Allah”.
Raden Said                          : “Baiklah ayahanda kalau memang itu keputusan ayahanda ananda mohon pamit”, menyembah Adhipati lantas pergi.     
Dewi Ambarwati              : “Ampuni Said Kang Mas, suruh dia kembali, dia putra kita pewaris takhta Kadipaten Tuban, kalau dia pergi siapa yang menggantikan Kang Mas Adhipati?”.
Adhipati                               : “Tidak Diajeng! Aku seorang Adhipati, apa yang ku ucapkan tidak bisa ditarik lagi, semoga Said menemukan kebenaran dalam perjalanannya.
Dewi Rayung Wulan       : “Ampuni Kang Mas Said ayahanda, suruh kembali. Apa ayahanda tidak kasihan dengan Kang Mas Said?”
Adhipati                               : “Rayung Wulan, seperti yang ayahanda bilang pada ibundamu, ayahanda tidak bisa menarik ucapn ayahanda lagi. Kalau kamu kasihan dengan Kang Mas mu, kamu boleh ikut dengan Kang Mas mu, sekarang juga kamu boleh pergi dari Istana Tuban”.
Rayung Wulan                   : (sambil menangis) “Baik ayahanda, ibunda, ananda mohon pamit”.
Ambarwati                          : “Jangan pergi putriku…” sambil menahan Rayung Wulan.
Adhipati                               : “Biarkan dia pergi Diajeng” sambil memegang tangan Ambarwati.




                Setting 2 (Hutan Gelagah Wangi)
                Perjalanan Raden Said setelah diusir dari Kadipaten Tuban sampai pada hutan lebat, letaknya perbatasa antara perbatasan Kadipaten Tuban, Kadipaten Bojonegoro, dan Kadipaten Madiun. Orang sekitar menyebutnya hutan  Gelagah Wangi. Dari sini Raden Said merampas semua pajak atau upeti yang dikirim untuk Kerajaan Majapahit, dia dikenal dengan sebutan berandal Loka Jaya. Semua hasil rampasan ia bagikan untuk rakyat yang kelaparan, namanya menggetarkan Majapahit. Dia disangjung rakyat tapi dibenci punggawa kerajaan.
                Suatu hari melintas orang tua di Hutan Gelagah Wangi, Loka Jaya mengejar orang tua itu karena tertarik pada tongkatnya, dengan napas terengah Loka Jaya berhasil menyusul orang tua itu.
Loka Jaya             : “Berhenti Pak tua!” dengan napas terengah.
Sunan Bonang   : “Ada apa anak muda kamu menghentikan langkahku?”.
Loka Jaya             : “Aku menginginkan tongkatmu Pak tua, kelihatannya bagus dan mahal harganya”.
Sunan Bonang   : “Tongkat ini hanya terbuat dari kayu  anak muda, dan tidak ada harganya. Untuk apa kamu mencari harta seperti itu anak muda?”.
Loka Jaya             : “Akan ku bagikan kepada rakyat yang membutuhkan”.
Sunan Bonang   : “ Niatmu untuk menolong sesama itu bagus, tapi caramu yang tidak benar , apa kamu membasuh dengan air kotor, tubuhmu akan menjadi bersih? Merampok itu perbuatan dosa apapun alasannya. Sedangkan hasilnya kamu bagikan pada rakyat, apa kamu mau membagi dosamu dengan mereka semua? Kalau kamu mau harta lihatlah itu anak muda” menunjuk pohon dengan tongkatnya. ”Itu pohon berbuah emas, itu halal anak muda, ambilah sesukamu..” sambil berjalan….
                Loka Jaya kaget menghampiri pohon itu, memanjat dan mengambil buah yang dikiranya emas. Nafsu yang menguasai sehingga ia terjatuh, dan buah itu menimpa tubuhnya, berubah menjadi wujud aslinya, yaitu pohon buah kolang kaling. Setelah sadar Loka Jaya terkejut, ternyata buah yang dikiranya emas hanyalah kolang-kaling. Dia baru menyadari kalau orang tua yang di hadapannya tadi bukan orang sembarangan. Dia mau berguru, maka dikejarnya orang tua itu.



                Setting 3 (Di pinggir Sungai Terusan Bengawan Solo).
                Ketika napasnya hampir terputus, Loka Jaya baru bisa menyusul orang tua itu, di pinggir Sungai Terusan Bengawan Solo, Loka Jaya bersimpuh di hadapan orng tua tadi.
Loka Jaya             : “Izinkan aku tau siapa kamu orang tua?”.
Sunan Bonang   : “Orang-orang menyebutku Sunan Bonang”.
Loka Jaya             : “Kanjeng Sunan, izinkan saya berguru, saya ingin menebus semua kesalahan saya”.
Sunan Bonang   : “Aku sebenarnya tau siapa dirimu anak muda, kamu putra Adhipati Tuban. Apa kamu sudah siap lahir batinmu untuk berguru kepadaku?”
Loka Jaya             : “Lahir batin saya sudah siap Kanjeng Sunan, apa pun yang Kanjeng Sunan perintahkan akan saya junjung tinggi”.
Sunan Bonang   : “Baiklah anak muda, tapi aku sedang ada keperluan ke Istana Demak. Tunggu aku di sini (sambil menancapkan tongkatnya), jangan pernah pergi sebelum aku kembali!”.
Loka Jaya             : “Baik Kanjeng Sunan….”
                Sepeninggal Sunan Bonang, Loka Jaya atau Raden Said duduk bersila di depan tongkat yang ditancapkan Sunan Bonang tadi.
                Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan  pun berganti tahun. Tubuhnya dipenuhi tumbuhan dan semak belukar, tak terasa 3 tahun sudah Raden Said atau Loka Jaya, bertapa menunggu kedatangan Sunan Bonang. Suatu ketika Sunan Bonang melintasi wilayah itu dan baru teringat dengan Raden Said. Ketika Sunan Bonang datang ke tempat dulu ia menancapkan tongkatnya, Raden Said tidak terlihat, yang ada hanya gerombolan semak belukar. Ketika didekati, tenyata itu tubuh Said yang ditumbuhi  semak belukar. Dengan terenyuh dibersihkan tubuh Said dari semak belukar. Sunan Bonang mencoba membangunkan Said dari pertapaannya, tapi Said tidak bisa dibangunkan dengan cara biasa. Sunan Bonang tersenyum dia tahu kalau Raden Said mendapatkan ma’rifat dari Allah, maka tidak ada cara lain untuk membangunkannya selain dengan adzan di telinga kanan dan dikhomati di telinga kiri. Barulah Raden Said terbangun dari tapanya.
Sunan Bonang   : “Assalammu’alaikum Said”.
Loka Jaya             : “Wa’alaikum salam Kanjeng Sunan”.
Sunan Bonang   : “Alhamdulillah kamu berhasil menyelesaikan ujianmu, kamu mendapat hidayah dari Allah dalam Ma’rifat lahiriyahmu juga batiniyahmu. Pakailah pakaian ini Said (menyerahkan baju berupa jubah dan sorban putih). Kamu akan menggenapi wali di Demak, menjadi wali songo”.
Loka Jaya             : “Tidak Kanjeng Sunan, biarlah saya memakai pakaian serba hitam ini… Dengan begini saya akan selalu mengingat akan dosa-dosa saya, maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri.
Sunan Bonang   : “Baiklah Said kalau itu yang menjadi keputusanmu, karena selama 3 tahun kamu bertapa di sini, aku memberimu nama Jaga Kali, tapi orang-orang akan mengenalmu dan menyebutmu sebagai Sunan Kali Jaga…”



Kesimpulan dari cerita Sunan Kali Jaga ini adalah sebagai berikut:
1.       Apa yang kita ucapkan sebaiknya itu yang kita jalankan, jadi kita akan dipercaya oleh sesama.
2.       Kita harus perduli kepad sesama, menolong pada yang membutuhkan, tapi hendaklah pertolongan kita atau bantuan kita dengan cara yang benar.
3.       Kalau kita punya keinginan dan mau menjalani dengan sungguh-sungguh juga dengan sepenuh hati niscaya Allah pasti akan mengabulkannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

puisiku hari ini.

SANG SURYA

Di ujung timur dia bertahta…
Sendirian tanpa teman…
Seluruh jagad membutuhkan kehadirannya..
Namun apakah ada yang memperdulikan?

Kebaikan yang dia tanam..
Belum tentu kebaikan pula yang diterima..
Kasih sayang yang dia berikan..
Kebencian yang dia dapatkan..




Cinta tak setia…
Jika nur di ujung timur telah bertahta,
Sendirian tanpa teman..
Izinkan aku mengenalmu.
Ketika nur karna menyejukkan hati,
Dengan hembus lembut angin
Dan tak menyilaukan mata dengan tahtanya..
Izinkan aku menjadi Sang Zahra.
Yang tertanam di Sahara..
Yang haus akan cinta, kasih dan sayangmu.
      Kenallah aku sebagai setitik nur dalam kalbumu..
      Sebagai setetes air dalam haus cintamu..
      Dan sebagai taman cinta yang menjadikanmu musafir..
Ketahuilah, aku tidak setia,
Karena ketika azal memisahkan..
Tak tergesa ku mengikutimu..
      Karena aku bukanlah ratu...
      Yang dapat berbela pati tuk kesetiaan.
Namun aku hanyalah umat..
Yang sedang dilanda rasa..

Yaitu… Rasa Cinta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS