RSS

Meraih Impian (tentang Resti Hartika)

Meraih Impian
  
Kini langkah takdirku dalam ujian tauhid dan kesabaran. Sejak kehadiranku dalam kehidupan ini aku selalu bersama kesederhanaan. Makin berlalu kehidupan ini, waktu berganti hari tergantikan minggu, minggu tergantikan bulan dan bulan tergantikan tahun. Hidup ini makin terasa berat dipikul, manis, pahit, asam dirasa. Terang terlihat gelap olehku, dan terlebih gelap terlihat kesendirian dalam rajut kehidupan.
Telah tamat pendidikanku menjadi seorang siswi kini aku harus bisa menyikapi hidup ini menjadi mahasiswi, tapi tidak giliranku. Lagi-lagi habis kikis impianku ditangan  masalah ekonomi dan keadaan fisiologis yang menghadangku.
Kala bulan bercahaya dengan cahayanya yang terang tapi tak menyilaukan bersama hembus angin yang sejuk. Terusik lamunanku saat terngiang sebaris kata ayah yang selalu berulang menelusup ke telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata-kata ayahku laksanakan meriam di rongga dadaku. Setiap kuingat kata-kata itu semakin berat beban kurasakan, terlebih urutanku sebagai sulung dari lima besaudara. Tidak mudah bagiku menjadi sulung. Kurasakan pula beban kedua orang tuaku yang semakin menjadi. Ayah, di luar segala kewajiban sebagai PNS, terlibat aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Tidak mengherankan jika bunda terpaksa turun tangan untuk menopang keuangan keluarga dengan membuka sebuah warung kecil-kecilan. Padat aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan menjadi menu wajib bagiku.
Ketika mentari dari ufuk timur bertahta bersama embun, aku jadikan langkah awal tukku menyajikan menu wajib itu (bekerja keras), yaitu aku langkahkan kakiku membawa alat tulis dan kesiapan pengetahuanku serta mental.
“Aku siap ujian tes tertulis untuk masuk fakultas kedokteran,” kata-kata yang terucap dalam pikirku yang terucap bersama semangatku dan sejuknya udara kala itu.
Sampai ruang ujian, aku duduk sesuai nomer urut ujian yang telah kudapatkan. Pengawas ujianpun datang dan membagikan kertas ujian serta LJK.
“Kertas soal ujian dan LJK telah kalian terima, sebelum mengerjakannya jangan lupa berdoa terlebih dahulu, lantas kalian kerjakan dengan waktu ujian yang telah ditetapkan yaitu 2 jam lamanya. Selamat mengerjakan, semoga menuai hasil yang baik.” Tutur pengawas ujian tertulis fakultas kedokteran tersebut.
Doa telah kupanjatkan kepada Allah SWT. Sekian banyak soal, 2, 3 soal menjadi kendala tukku. Keringat dingin aku alami, waktu ujian selesai, keluarlah seluruh peserta dari ruang ujian.
Selang waktu aku menunggu pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran aku selalu berdoa kepadaNya, agar aku lulus dalam tersebut. Tepat empat hari waktu berlalu dari hari pelaksanaan tes yang aku laksanakan waktu itu, telah tertera pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran di mading.
“Ya Allah terima kasih atas kuasaMu kini aku telah diterima di fakultas kedokteran yang aku impikan.” Syukurku atas kuasaNya dengan sujud syukur.
Setelah dinyatakan bahwa aku lulus ujian fakultas kedokteran, pihak TU mengabariku bahwa esok hari aku dan orang tua wajib hadir ke kampus untuk tes wawancara dan memenuhi biaya pendaftaran.
“Resti Hartika kamu telah lulus ujian tertulis, maka besok pagi kamu datang bersama orang tuamu ke kampus ya, untuk tes wawancara dan pemenuhan transaksi pendaftaran.” Kata petugas TU.
“ Baik Bu terima kasih, pasti akan saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, mereka pasti senang.” Jawabku dengan riang gembira.
Sesampaiku di rumah kumenghadap ayah dan bunda serta menyampaikan kabar gembira, bahwa diriku diterima di fakultas kedokteran.
“Ayah, Bunda, Resti diterima di Fakultas Kedokteran, besok pagi Ayah dan Bunda datang ke kampus ya untuk transaksi pendaftaran kuliah Resti.” Kataku dengan lembut dan memohon agar ayah dan bunda mau memenuhi apa yang kuinginkan.
“Nak, kami bangga mendengar berita ini, tapi..” haru bundaku menjawab kabar dariku.
“Tapi apa Bunda?”
“Tapi kita tak cukup uang untuk kamu masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!” ucap Bunda lembut tetapi pasti.
“Ya sudah Bun, saya mengerti.”
Langkah, demi langkah aku mundur dari hadapan ayah dan bunda. Menatap gelap malam dan terang bulan aku merenung dan menangis.
“Ya Allah padahal kuberharap Ayah dan Bunda dapat memenuhi biaya pendaftaranku tuk kuliah, tapi mereka tidak dapat mewujudkan impianku. Padahalkan aku kuliah fakultas kedokteran agar ketika kululus dan bekerja hasilnya untukku membantu adik-adik sekolah, tapi apa boleh buat, Kau tak menghendakkinya.” Sedihku dalam hati.
Tak larut ku dalam kesedihan, dan aku melangkahkan kaki dan tekadku tuk mendaftar STPDN. Namun belum-belum kumendayung apalagi melalui satu pulau aku sudah tenggelam dan terhampar dalam impianku yang satu ini. Tenggelamku, kegagalanku dalam pendaftaran STPDN ini karena satu syarat yang tak terpenuhi oleh diriku, yaitu kurangnya tinggi badan.
Makin dalam dan membekas luka ini, makin kering air mata ini terkuras tuk menangisi kelemahanku. Meski begitu ayah dan bundaku tiada putus-putusnya membangkitkanku hingga kedua kakiku benar-benar mampu berpijak dan menumbuhkan jiwa kekokohanku tuk terus berjuang.
Untuk mengobati luka hatiku, kuputuskan untuk membantu bunda menjaga warung. Ternyata pekerjaan sesederhana sebagai jembatan bundaku mencari nafkah ini membawa banyak pelajaran kehidupan, bagai pohon cabai, meski kecil buahnya pun banyak dan berguna. Maka dari itu di sisiku menjaga warung, sedikit demi sedikit kubelajar dari ketegaran bunda dalam menghadapi kesulitan hidup.
Sering kali ketika gelapnya malam dan kemerlap bulan bintang menjadi teman setia bunda, untuk menyambung helai-helai kain perca dengan benang-benang lembut dan tajamnya jarum, yang akan ia rubah menjadi bed cover tuk dijual. Habis gelap terbitlah terang, bunda mulai melangkahkan kakinya tuk menawarkan bed cover yang iya jahit dengan ketulusan dan kesungguhan hati tersebut dalam keramaian pembeli dan pedagang.
“Mbak tolong bantu saya, saya akan menitipkan bed cover ini di toko Mbak, untuk dijual,” begitulah bundaku menawarkan bed cover tersebut.
“Iya baiklah Bu, saya akan berusaha menawarkan bed cover ini kepada para pembeli, oh iya Bu, harganya berapa ya Bu satu bed covernya?” Tanya pemilik toko.
“Harga jualnya Rp 125.000,00 mbak, tapi Mbak cukup memberikan uang kepada saya senilai Rp 120.000,00 saja.”
“Ya sudah jadi semuanya ada Rp 1.200.000,00 ya Bu,” sambil memberikan uangnya.
“Terima kasih ya Mbak.”
“Iya kembali kasih Bu.”
Tiada putus doaku kepada Sang Khalik agar bunda senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin, serta agar kehidupan kami lebih baik dari kehidupan detik lalu dan detik ini.


“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan keluargaku,
Jadikanlahku Annisa Adzra , berbakti kepada orang tua,
dapat mengamalkan ilmu yang bermanfaat dengan baik dan benar. Meski hanya satu ayat.
Jagalah kami, izinkan kami memperbaiki kesalahan yang kami perbuat, dan izinkan kami menjadi yang terbaik,
Ya Allah tolong berikan watak bumi, ketika kami dalam kesulitan,
watak kesatria, ketika kami dalam kelabu, dan kegelapan.
watak Krisna , ketika kami dalam kehidupan yang indah, yang Engkau ridhai.
bawalah kehidupanku seperti air yang tenang.
dan tuk saat ini tolong bangkitkan ku tuk dapat mencari nafkah tuk keluarga dan dapat melanjutkan pendidikan.
Ya Allah jadikanlah kami mutiara diantara pasir-pasir yang berserakan di pantai.
 Aamiin Ya Robbal ‘alamiin.” Doaku kepada Sang Khalik.


Seiring berjalannya waktu salah satu doaku terkabul. Suatu hari ayah memutuskan untuk berhenti bekerja dan berorganisasi. Ayah mulai melirik dunia usaha. Sebagai langkah awal, ayah melahap dan berusaha terjun dalam imajinasi sederet buku-buku profil pengusaha sukses, seperti Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richard Branson, Donald Trump, dan Elang Gumilang. Benih pohon jiwa kewirausahaan tumbuh pesat pula dalam diriku, terlebih setelah aku menyerap isi beberapa buku yang menyampaikan motivasi.
Dua kali mata belati melukaiku sehingga kuterjatuh dalam kegagalan. Tak membuatku terserak dalam kehidupan, justru luka itu menjadi batu pijakanku tuk melangkah lebih jauh. Yaitu usai kesedihan dan kegagalan aku bisa melanjutkan pendidikanku di jurusan bahasa Inggris. Syukurku atas rencana Allah yang indah, dan kutekuni masa pendidikan tinggi sepenuh hati. Kendala financial mendorongku untuk merambah dunia kerja di samping kuliah. Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak Ica, saudara sepupuku, datang kepadaku. Menawarkan tuk bekerjasama denganku.
“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di san?” kata Kak Ica.
“Wah yang benar saja Kak? Terima kasih Ya Allah, Kakak tepat waktu banget deh, ya sudah aku setuju, kebetulan banget aku sedang membutuhkan pekerjaan tuk meringankan beban orang tua membiayai kuliahku.” Jawabku dengan riang.
“Iya, yasudah besok kita datang ke kios itu ya, lalu kita tata rapi untuk kita jualan.”
“Oke sip Kak.”
Semuanya sudah tertata rapi, dan tuk hari pertama ya Alhamdulillah mendapatkan penghasilan yang lumayan. Hari demi hari berlalu dan menuai hasil yang gemilang tak kusangka-sangka akan mendapatkan keuntungan seperti menanam padi, 1 biji tertanam 7 butir padi terkantongi olehku. Selain hasilnya dapat kugunakan untuk kuliah dapat kugunakan pula untuk membiayai sekolah adikku.
Suatu hari bunda berkunjung ke tokoku dan dia memuji atas keberhasilanku di dunia wirausaha.
“Wah, ternyata Nanda sudah meraub banyak untung nih.” Canda bundaku untuk memujiku.
“Ia Bunda Alhamdulillah, usahaku berjalan dengan baik, sehingga dapat kupakai tuk membayar biaya kuliah.” Jawabku dengan senang.
“Iya Alhamdulillah jangan lupa selalu bersyukur ya,” pesan bunda kepadaku.
“Iya Bunda, saying Bunda,” jawabku dengan kasih sayang, dan kupeluk bunda.
Seiring waktu, jaringan bisnisku meluas. Padatnya jadwal ceramah ayah sebagai motivator mendorongku untuk membantunya. Jadilah aku berkiprah dalam dunia event organizer. Lahan bisnis ini menuai sukses yang tergolong gemilang. Jaringan konsumen luas semakin membuka peluang untukku berkiprah di bidang usaha lain. Usaha penjualan tiket pesawat pun kulakoni hingga membuahkan beberapa kantor cabang di berbagai kota di negeri ini.
Kesuksesan ini tidak patut membuatku angkuh, terutama di hadapan Tuhan. Hanya karena ridha-Nya aku dapat meraih semuanya. Tidak luput bimbingan dan motivasi dari kedua orang tuaku turut membuatku tegar dalam berbagai kesulitan.

Hidup ini memang selalu berputar, terlahirku dalam kesederhanaan, tanpa sehelai kain yang memberiku kehangatan, hanya dengan tangisku hadir di dunia ini, itu awal kehadiranku. Begitu dengan hidupku penuh dengan tangis ku meluinya dan akhirnya aku berada di puncak kehidupan yang indah, yaitu kesuksesanku yang membuat orang tuaku bersyukur kepadaNya dan bangga padaku. Meski begini aku tak boleh terlena dengan keadaan ini, jika demikian kuterlena akan terjatuhlah diriku dari tingginya langit hingga berada di tanah yang kasar, yang akan membawa luka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

puisi tumpuan rasa dan kuniatkan

Tumpuan Rasa

Di kala senja bersama langit biru
Tak kan kubiarkan kekandasan menghampir
Karena banyak tumpuan yang harusku jadikan ruangku
Karena aku harus mencapai mega jelang nur nan sunyi & tentram
Dalam langkahku mencapai tumpuan
Terik surya menyilaukanku
Deru debu menyosong kegelapan
Seruan angin membisik dentum meriam
Serta air meruangkan ku menyeretku
Tuk bisa menerjang dengan ketulusan
Teruanglah ku dalam pantai
Menjadi mutiara diantara butir-butir pasir yang berserakan


K U N I A T K A N

Tak ingin kuhentikan
Aliran air kehidupan ini sampai di sini
Lebih utama jika ku pergi jauh
Jauh dari lamunanmu di balik tirai
Jauh di mukamu dengan riang wajah ini
Ingatlah harapanmu kala itu
Hampir saja pecah
Itu karena rasa ini
Karena aku yang ada dalam bayangmu
Biarkan tangisku berlalu selama 7 tahun mendatang
Hentilah tangis ketika aku dan dirimu bersama dalam bunga kesuksesan
Takkan ku biarkan tangismu dan tangisku
Tertadah dalam waktu yang lama
Hanya karena rasa ini..
Salam kasihku
Jadilah nur dalam kalbuku
Jadilah angin yang menyejukkan jiwaku
Dan jadilah pejuang yang berjihad demi rasa ini…..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Naskah cerita Sunan Kalijaga

SUNAN KALIJAGA
     


Ide cerita                   : Lulu’ Urrohmah
Naskah Karya          : Murdoko Ibnu . R .
Tekhnik & montase   : Lulu’ Urrohmah
                                      Elsi Yulianti
Narator                     : Rini Aryani
Sutradara                  :Lulu’ Urrohmah



Didukung para pemain :
Adhipati Wilwatikta oleh oleh Putra Josua
Dewi Ambarwati (Istri Adhipati) oleh Gaby
Raden Mas Said/ Sunan Kalijaga oleh M. Rakha
Dewi Rayung Wulan oleh Tia Chairunnisa
Patih Gajah Lembana oleh Agie
Senopati Yudha Pati oleh Ari Armanda
Dayang 1 oleh Elsi Yulianti
Dayang 2 oleh Rini Aryani
Dayang  3 oleh Lulu’ Urrohmah
Sunan Bonang oleh Dirgantara







Sebuah kisah yang menceritakan perjalanan hidup seseorang dalam mencari kebenaran hingga mendapatkan hidayah Allah dalam tataran ma’rifat lahiriyah juga batiniyahnya.
Prakisah : Perang saudara yang berkepanjangan di Majapahit, menyisakan penderitaan bagi seluruh rakyatnya, penyakit dan kelaparan terjadi dimana-mana.
Kadipaten Tuban salah satu bawahan Majapahit mau tidak mau terkena imbasnya, kelaparan dan kematian hampir setiap hari selalu terjadi.
Raden Mas Said putra Adhipati Wilwatikta tergerak hati untuk menolong rakyatnya, dengan mencuri bahan makanan dari lumbung Kadipaten dia bagikan untuk rakyatnya. Lama kelamaan perbuatannya tercium juga, berkurangnya bahan makanan di lumbung Kadipaten membuat Adhipati Wilwatikta marah besar. Ia memerintahkan Patih Gajah Lembana dan para senopatinya untuk menangkap pencuri itu hidup atau mati.



Setting 1, (Kadipaten Tuban).
Patih Gajah Lembana berhasil menangkap pencuri di Lumbung pangan Kadipaten, segera dihadapkan kepada Adhipati Wilwatikta.
Patih Gajah Lembana menghadap Adhipati membawa tawanan.
Patih Gajah Lembana    : “Maaf Kanjeng Adhipati hamba datang menghadap”, posisi berlutut sambil menyembah.
Adhipati                               : “Gajah Lembana.. Apa ini pencuri Istana Kadipaten?”.
Patih Gajah Lembana    : “Daulat Gusti, ini pencuri yang berhasil saya tangkap waktu menyusup ke lumbung pangan Kadipaten.
Adhipati                               : “Buka penutup wajahnya aku ingin tahu siapa orangnya..!!”, dengan nada tinggi atau memerintah.
Patih Gajah Lembana dan Senopati Yudhapati membuka penutup wajah tawanan itu, alangkah terkejutnya sang Adhipati juga permaisuri ketika mengetahui siapa dibalik penutup wajah itu. Ternyata pencuri yang selama ini meresahkan Kadipaten adalah Raden Mas Said yang tak lain putranya sendiri.
Adhipati                               : “Apa yang kau lakukan Said? Tega-teganya kau menampar ayahandamu sendiri?”
Raden Said                          : “Ampun ayahanda.. semua yang ananda lakukan untuk menolong rakyat Kadipaten Tuban yang kelaparan, kasihan mereka ayahanda. Apa ananda salah menolong rakyat Kadipaten?”
Adhipati                               : “Tidak salah kamu menolong, tapi kamu salah dalam menjalankannya, apa kamu tidak tahu Said? Bahan pangan itu akan dikirim ke Istana Majapahit, untuk membantu pasukan di sana?”
Raden Said                          : “Kenapa kita harus membantu Majapahit ayahanda? Sedangkan rakyat kita sendiri dalam kesusahan..?”
Adhipati                               : “Said!!! Tahu apa kamu tentang kerajaan?!! Sekarang kamu hentikan  perbuatanmu, atau kau akan menerima akibatnya?!
Raden Said                         : “Ampun ayahanda, kalau memang itu titah ayahanda, ananda akan tetap menolong rakyat Tuban.
Adhipati                               : “Kalau itu mau mu, mulai sekarang juga, tinggalkan Kadipaten Tuban, jangan pernah kembali ke Istana Tuban sebelum kamu bisa menggetarkan Istana Tuban dengan lantunan ayat-ayat Allah”.
Raden Said                          : “Baiklah ayahanda kalau memang itu keputusan ayahanda ananda mohon pamit”, menyembah Adhipati lantas pergi.     
Dewi Ambarwati              : “Ampuni Said Kang Mas, suruh dia kembali, dia putra kita pewaris takhta Kadipaten Tuban, kalau dia pergi siapa yang menggantikan Kang Mas Adhipati?”.
Adhipati                               : “Tidak Diajeng! Aku seorang Adhipati, apa yang ku ucapkan tidak bisa ditarik lagi, semoga Said menemukan kebenaran dalam perjalanannya.
Dewi Rayung Wulan       : “Ampuni Kang Mas Said ayahanda, suruh kembali. Apa ayahanda tidak kasihan dengan Kang Mas Said?”
Adhipati                               : “Rayung Wulan, seperti yang ayahanda bilang pada ibundamu, ayahanda tidak bisa menarik ucapn ayahanda lagi. Kalau kamu kasihan dengan Kang Mas mu, kamu boleh ikut dengan Kang Mas mu, sekarang juga kamu boleh pergi dari Istana Tuban”.
Rayung Wulan                   : (sambil menangis) “Baik ayahanda, ibunda, ananda mohon pamit”.
Ambarwati                          : “Jangan pergi putriku…” sambil menahan Rayung Wulan.
Adhipati                               : “Biarkan dia pergi Diajeng” sambil memegang tangan Ambarwati.




                Setting 2 (Hutan Gelagah Wangi)
                Perjalanan Raden Said setelah diusir dari Kadipaten Tuban sampai pada hutan lebat, letaknya perbatasa antara perbatasan Kadipaten Tuban, Kadipaten Bojonegoro, dan Kadipaten Madiun. Orang sekitar menyebutnya hutan  Gelagah Wangi. Dari sini Raden Said merampas semua pajak atau upeti yang dikirim untuk Kerajaan Majapahit, dia dikenal dengan sebutan berandal Loka Jaya. Semua hasil rampasan ia bagikan untuk rakyat yang kelaparan, namanya menggetarkan Majapahit. Dia disangjung rakyat tapi dibenci punggawa kerajaan.
                Suatu hari melintas orang tua di Hutan Gelagah Wangi, Loka Jaya mengejar orang tua itu karena tertarik pada tongkatnya, dengan napas terengah Loka Jaya berhasil menyusul orang tua itu.
Loka Jaya             : “Berhenti Pak tua!” dengan napas terengah.
Sunan Bonang   : “Ada apa anak muda kamu menghentikan langkahku?”.
Loka Jaya             : “Aku menginginkan tongkatmu Pak tua, kelihatannya bagus dan mahal harganya”.
Sunan Bonang   : “Tongkat ini hanya terbuat dari kayu  anak muda, dan tidak ada harganya. Untuk apa kamu mencari harta seperti itu anak muda?”.
Loka Jaya             : “Akan ku bagikan kepada rakyat yang membutuhkan”.
Sunan Bonang   : “ Niatmu untuk menolong sesama itu bagus, tapi caramu yang tidak benar , apa kamu membasuh dengan air kotor, tubuhmu akan menjadi bersih? Merampok itu perbuatan dosa apapun alasannya. Sedangkan hasilnya kamu bagikan pada rakyat, apa kamu mau membagi dosamu dengan mereka semua? Kalau kamu mau harta lihatlah itu anak muda” menunjuk pohon dengan tongkatnya. ”Itu pohon berbuah emas, itu halal anak muda, ambilah sesukamu..” sambil berjalan….
                Loka Jaya kaget menghampiri pohon itu, memanjat dan mengambil buah yang dikiranya emas. Nafsu yang menguasai sehingga ia terjatuh, dan buah itu menimpa tubuhnya, berubah menjadi wujud aslinya, yaitu pohon buah kolang kaling. Setelah sadar Loka Jaya terkejut, ternyata buah yang dikiranya emas hanyalah kolang-kaling. Dia baru menyadari kalau orang tua yang di hadapannya tadi bukan orang sembarangan. Dia mau berguru, maka dikejarnya orang tua itu.



                Setting 3 (Di pinggir Sungai Terusan Bengawan Solo).
                Ketika napasnya hampir terputus, Loka Jaya baru bisa menyusul orang tua itu, di pinggir Sungai Terusan Bengawan Solo, Loka Jaya bersimpuh di hadapan orng tua tadi.
Loka Jaya             : “Izinkan aku tau siapa kamu orang tua?”.
Sunan Bonang   : “Orang-orang menyebutku Sunan Bonang”.
Loka Jaya             : “Kanjeng Sunan, izinkan saya berguru, saya ingin menebus semua kesalahan saya”.
Sunan Bonang   : “Aku sebenarnya tau siapa dirimu anak muda, kamu putra Adhipati Tuban. Apa kamu sudah siap lahir batinmu untuk berguru kepadaku?”
Loka Jaya             : “Lahir batin saya sudah siap Kanjeng Sunan, apa pun yang Kanjeng Sunan perintahkan akan saya junjung tinggi”.
Sunan Bonang   : “Baiklah anak muda, tapi aku sedang ada keperluan ke Istana Demak. Tunggu aku di sini (sambil menancapkan tongkatnya), jangan pernah pergi sebelum aku kembali!”.
Loka Jaya             : “Baik Kanjeng Sunan….”
                Sepeninggal Sunan Bonang, Loka Jaya atau Raden Said duduk bersila di depan tongkat yang ditancapkan Sunan Bonang tadi.
                Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan  pun berganti tahun. Tubuhnya dipenuhi tumbuhan dan semak belukar, tak terasa 3 tahun sudah Raden Said atau Loka Jaya, bertapa menunggu kedatangan Sunan Bonang. Suatu ketika Sunan Bonang melintasi wilayah itu dan baru teringat dengan Raden Said. Ketika Sunan Bonang datang ke tempat dulu ia menancapkan tongkatnya, Raden Said tidak terlihat, yang ada hanya gerombolan semak belukar. Ketika didekati, tenyata itu tubuh Said yang ditumbuhi  semak belukar. Dengan terenyuh dibersihkan tubuh Said dari semak belukar. Sunan Bonang mencoba membangunkan Said dari pertapaannya, tapi Said tidak bisa dibangunkan dengan cara biasa. Sunan Bonang tersenyum dia tahu kalau Raden Said mendapatkan ma’rifat dari Allah, maka tidak ada cara lain untuk membangunkannya selain dengan adzan di telinga kanan dan dikhomati di telinga kiri. Barulah Raden Said terbangun dari tapanya.
Sunan Bonang   : “Assalammu’alaikum Said”.
Loka Jaya             : “Wa’alaikum salam Kanjeng Sunan”.
Sunan Bonang   : “Alhamdulillah kamu berhasil menyelesaikan ujianmu, kamu mendapat hidayah dari Allah dalam Ma’rifat lahiriyahmu juga batiniyahmu. Pakailah pakaian ini Said (menyerahkan baju berupa jubah dan sorban putih). Kamu akan menggenapi wali di Demak, menjadi wali songo”.
Loka Jaya             : “Tidak Kanjeng Sunan, biarlah saya memakai pakaian serba hitam ini… Dengan begini saya akan selalu mengingat akan dosa-dosa saya, maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri.
Sunan Bonang   : “Baiklah Said kalau itu yang menjadi keputusanmu, karena selama 3 tahun kamu bertapa di sini, aku memberimu nama Jaga Kali, tapi orang-orang akan mengenalmu dan menyebutmu sebagai Sunan Kali Jaga…”



Kesimpulan dari cerita Sunan Kali Jaga ini adalah sebagai berikut:
1.       Apa yang kita ucapkan sebaiknya itu yang kita jalankan, jadi kita akan dipercaya oleh sesama.
2.       Kita harus perduli kepad sesama, menolong pada yang membutuhkan, tapi hendaklah pertolongan kita atau bantuan kita dengan cara yang benar.
3.       Kalau kita punya keinginan dan mau menjalani dengan sungguh-sungguh juga dengan sepenuh hati niscaya Allah pasti akan mengabulkannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

puisiku hari ini.

SANG SURYA

Di ujung timur dia bertahta…
Sendirian tanpa teman…
Seluruh jagad membutuhkan kehadirannya..
Namun apakah ada yang memperdulikan?

Kebaikan yang dia tanam..
Belum tentu kebaikan pula yang diterima..
Kasih sayang yang dia berikan..
Kebencian yang dia dapatkan..




Cinta tak setia…
Jika nur di ujung timur telah bertahta,
Sendirian tanpa teman..
Izinkan aku mengenalmu.
Ketika nur karna menyejukkan hati,
Dengan hembus lembut angin
Dan tak menyilaukan mata dengan tahtanya..
Izinkan aku menjadi Sang Zahra.
Yang tertanam di Sahara..
Yang haus akan cinta, kasih dan sayangmu.
      Kenallah aku sebagai setitik nur dalam kalbumu..
      Sebagai setetes air dalam haus cintamu..
      Dan sebagai taman cinta yang menjadikanmu musafir..
Ketahuilah, aku tidak setia,
Karena ketika azal memisahkan..
Tak tergesa ku mengikutimu..
      Karena aku bukanlah ratu...
      Yang dapat berbela pati tuk kesetiaan.
Namun aku hanyalah umat..
Yang sedang dilanda rasa..

Yaitu… Rasa Cinta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS