Meraih
Impian
Kini langkah takdirku
dalam ujian tauhid dan kesabaran. Sejak kehadiranku dalam kehidupan ini aku
selalu bersama kesederhanaan. Makin berlalu kehidupan ini, waktu berganti hari
tergantikan minggu, minggu tergantikan bulan dan bulan tergantikan tahun. Hidup
ini makin terasa berat dipikul, manis, pahit, asam dirasa. Terang terlihat
gelap olehku, dan terlebih gelap terlihat kesendirian dalam rajut kehidupan.
Telah tamat
pendidikanku menjadi seorang siswi kini aku harus bisa menyikapi hidup ini
menjadi mahasiswi, tapi tidak giliranku. Lagi-lagi habis kikis impianku
ditangan masalah ekonomi dan keadaan
fisiologis yang menghadangku.
Kala bulan bercahaya
dengan cahayanya yang terang tapi tak menyilaukan bersama hembus angin yang
sejuk. Terusik lamunanku saat terngiang sebaris kata ayah yang selalu berulang
menelusup ke telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata-kata ayahku laksanakan
meriam di rongga dadaku. Setiap kuingat kata-kata itu semakin berat beban
kurasakan, terlebih urutanku sebagai sulung dari lima besaudara. Tidak mudah
bagiku menjadi sulung. Kurasakan pula beban kedua orang tuaku yang semakin
menjadi. Ayah, di luar segala kewajiban sebagai PNS, terlibat aktif di dunia
jurnalistik dan organisasi. Tidak mengherankan jika bunda terpaksa turun tangan
untuk menopang keuangan keluarga dengan membuka sebuah warung kecil-kecilan.
Padat aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan
menjadi menu wajib bagiku.
Ketika mentari dari
ufuk timur bertahta bersama embun, aku jadikan langkah awal tukku menyajikan
menu wajib itu (bekerja keras), yaitu aku langkahkan kakiku membawa alat tulis
dan kesiapan pengetahuanku serta mental.
“Aku siap ujian tes
tertulis untuk masuk fakultas kedokteran,” kata-kata yang terucap dalam pikirku
yang terucap bersama semangatku dan sejuknya udara kala itu.
Sampai ruang ujian, aku
duduk sesuai nomer urut ujian yang telah kudapatkan. Pengawas ujianpun datang
dan membagikan kertas ujian serta LJK.
“Kertas soal ujian dan
LJK telah kalian terima, sebelum mengerjakannya jangan lupa berdoa terlebih
dahulu, lantas kalian kerjakan dengan waktu ujian yang telah ditetapkan yaitu 2
jam lamanya. Selamat mengerjakan, semoga menuai hasil yang baik.” Tutur
pengawas ujian tertulis fakultas kedokteran tersebut.
Doa telah kupanjatkan
kepada Allah SWT. Sekian banyak soal, 2, 3 soal menjadi kendala tukku. Keringat
dingin aku alami, waktu ujian selesai, keluarlah seluruh peserta dari ruang
ujian.
Selang waktu aku
menunggu pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran aku selalu
berdoa kepadaNya, agar aku lulus dalam tersebut. Tepat empat hari waktu berlalu
dari hari pelaksanaan tes yang aku laksanakan waktu itu, telah tertera
pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran di mading.
“Ya Allah terima kasih
atas kuasaMu kini aku telah diterima di fakultas kedokteran yang aku impikan.”
Syukurku atas kuasaNya dengan sujud syukur.
Setelah dinyatakan
bahwa aku lulus ujian fakultas kedokteran, pihak TU mengabariku bahwa esok hari
aku dan orang tua wajib hadir ke kampus untuk tes wawancara dan memenuhi biaya
pendaftaran.
“Resti Hartika kamu
telah lulus ujian tertulis, maka besok pagi kamu datang bersama orang tuamu ke
kampus ya, untuk tes wawancara dan pemenuhan transaksi pendaftaran.” Kata
petugas TU.
“ Baik Bu terima kasih,
pasti akan saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, mereka pasti senang.”
Jawabku dengan riang gembira.
Sesampaiku di rumah
kumenghadap ayah dan bunda serta menyampaikan kabar gembira, bahwa diriku
diterima di fakultas kedokteran.
“Ayah, Bunda, Resti
diterima di Fakultas Kedokteran, besok pagi Ayah dan Bunda datang ke kampus ya
untuk transaksi pendaftaran kuliah Resti.” Kataku dengan lembut dan memohon
agar ayah dan bunda mau memenuhi apa yang kuinginkan.
“Nak, kami bangga mendengar
berita ini, tapi..” haru bundaku menjawab kabar dariku.
“Tapi apa Bunda?”
“Tapi kita tak cukup
uang untuk kamu masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!” ucap Bunda lembut
tetapi pasti.
“Ya sudah Bun, saya
mengerti.”
Langkah, demi langkah
aku mundur dari hadapan ayah dan bunda. Menatap gelap malam dan terang bulan
aku merenung dan menangis.
“Ya Allah padahal
kuberharap Ayah dan Bunda dapat memenuhi biaya pendaftaranku tuk kuliah, tapi
mereka tidak dapat mewujudkan impianku. Padahalkan aku kuliah fakultas
kedokteran agar ketika kululus dan bekerja hasilnya untukku membantu adik-adik
sekolah, tapi apa boleh buat, Kau tak menghendakkinya.” Sedihku dalam hati.
Tak larut ku dalam
kesedihan, dan aku melangkahkan kaki dan tekadku tuk mendaftar STPDN. Namun
belum-belum kumendayung apalagi melalui satu pulau aku sudah tenggelam dan
terhampar dalam impianku yang satu ini. Tenggelamku, kegagalanku dalam
pendaftaran STPDN ini karena satu syarat yang tak terpenuhi oleh diriku, yaitu
kurangnya tinggi badan.
Makin dalam dan
membekas luka ini, makin kering air mata ini terkuras tuk menangisi
kelemahanku. Meski begitu ayah dan bundaku tiada putus-putusnya membangkitkanku
hingga kedua kakiku benar-benar mampu berpijak dan menumbuhkan jiwa kekokohanku
tuk terus berjuang.
Untuk mengobati luka
hatiku, kuputuskan untuk membantu bunda menjaga warung. Ternyata pekerjaan
sesederhana sebagai jembatan bundaku mencari nafkah ini membawa banyak
pelajaran kehidupan, bagai pohon cabai, meski kecil buahnya pun banyak dan
berguna. Maka dari itu di sisiku menjaga warung, sedikit demi sedikit kubelajar
dari ketegaran bunda dalam menghadapi kesulitan hidup.
Sering kali ketika
gelapnya malam dan kemerlap bulan bintang menjadi teman setia bunda, untuk
menyambung helai-helai kain perca dengan benang-benang lembut dan tajamnya
jarum, yang akan ia rubah menjadi bed
cover tuk dijual. Habis gelap terbitlah terang, bunda mulai melangkahkan
kakinya tuk menawarkan bed cover yang
iya jahit dengan ketulusan dan kesungguhan hati tersebut dalam keramaian
pembeli dan pedagang.
“Mbak tolong bantu
saya, saya akan menitipkan bed cover
ini di toko Mbak, untuk dijual,” begitulah bundaku menawarkan bed cover tersebut.
“Iya baiklah Bu, saya
akan berusaha menawarkan bed cover
ini kepada para pembeli, oh iya Bu, harganya berapa ya Bu satu bed covernya?” Tanya pemilik toko.
“Harga jualnya Rp
125.000,00 mbak, tapi Mbak cukup memberikan uang kepada saya senilai Rp
120.000,00 saja.”
“Ya sudah jadi semuanya
ada Rp 1.200.000,00 ya Bu,” sambil memberikan uangnya.
“Terima kasih ya Mbak.”
“Iya kembali kasih Bu.”
Tiada putus doaku
kepada Sang Khalik agar bunda senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin,
serta agar kehidupan kami lebih baik dari kehidupan detik lalu dan detik ini.
“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan
keluargaku,
Jadikanlahku Annisa Adzra , berbakti kepada
orang tua,
dapat mengamalkan ilmu yang bermanfaat dengan
baik dan benar. Meski hanya satu ayat.
Jagalah kami, izinkan kami memperbaiki
kesalahan yang kami perbuat, dan izinkan kami menjadi yang terbaik,
Ya Allah tolong berikan watak bumi, ketika
kami dalam kesulitan,
watak kesatria, ketika kami dalam kelabu, dan
kegelapan.
watak Krisna , ketika kami dalam kehidupan
yang indah, yang Engkau ridhai.
bawalah kehidupanku seperti air yang tenang.
dan tuk saat ini tolong bangkitkan ku tuk
dapat mencari nafkah tuk keluarga dan dapat melanjutkan pendidikan.
Ya Allah jadikanlah kami mutiara diantara
pasir-pasir yang berserakan di pantai.
Aamiin
Ya Robbal ‘alamiin.” Doaku kepada Sang Khalik.
Seiring berjalannya
waktu salah satu doaku terkabul. Suatu hari ayah memutuskan untuk berhenti
bekerja dan berorganisasi. Ayah mulai melirik dunia usaha. Sebagai langkah
awal, ayah melahap dan berusaha terjun dalam imajinasi sederet buku-buku profil
pengusaha sukses, seperti Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richard Branson,
Donald Trump, dan Elang Gumilang. Benih pohon jiwa kewirausahaan tumbuh pesat
pula dalam diriku, terlebih setelah aku menyerap isi beberapa buku yang
menyampaikan motivasi.
Dua kali mata belati
melukaiku sehingga kuterjatuh dalam kegagalan. Tak membuatku terserak dalam
kehidupan, justru luka itu menjadi batu pijakanku tuk melangkah lebih jauh.
Yaitu usai kesedihan dan kegagalan aku bisa melanjutkan pendidikanku di jurusan
bahasa Inggris. Syukurku atas rencana Allah yang indah, dan kutekuni masa
pendidikan tinggi sepenuh hati. Kendala financial mendorongku untuk merambah
dunia kerja di samping kuliah. Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak Ica,
saudara sepupuku, datang kepadaku. Menawarkan tuk bekerjasama denganku.
“Nanda, di sebelah toko
Bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membeli kios itu,
lalu kita jual pakaian di san?” kata Kak Ica.
“Wah yang benar saja
Kak? Terima kasih Ya Allah, Kakak tepat waktu banget deh, ya sudah aku setuju,
kebetulan banget aku sedang membutuhkan pekerjaan tuk meringankan beban orang
tua membiayai kuliahku.” Jawabku dengan riang.
“Iya, yasudah besok
kita datang ke kios itu ya, lalu kita tata rapi untuk kita jualan.”
“Oke sip Kak.”
Semuanya sudah tertata
rapi, dan tuk hari pertama ya Alhamdulillah mendapatkan penghasilan yang
lumayan. Hari demi hari berlalu dan menuai hasil yang gemilang tak
kusangka-sangka akan mendapatkan keuntungan seperti menanam padi, 1 biji
tertanam 7 butir padi terkantongi olehku. Selain hasilnya dapat kugunakan untuk
kuliah dapat kugunakan pula untuk membiayai sekolah adikku.
Suatu hari bunda
berkunjung ke tokoku dan dia memuji atas keberhasilanku di dunia wirausaha.
“Wah, ternyata Nanda
sudah meraub banyak untung nih.” Canda bundaku untuk memujiku.
“Ia Bunda
Alhamdulillah, usahaku berjalan dengan baik, sehingga dapat kupakai tuk
membayar biaya kuliah.” Jawabku dengan senang.
“Iya Alhamdulillah
jangan lupa selalu bersyukur ya,” pesan bunda kepadaku.
“Iya Bunda, saying
Bunda,” jawabku dengan kasih sayang, dan kupeluk bunda.
Seiring waktu, jaringan
bisnisku meluas. Padatnya jadwal ceramah ayah sebagai motivator mendorongku
untuk membantunya. Jadilah aku berkiprah dalam dunia event organizer. Lahan
bisnis ini menuai sukses yang tergolong gemilang. Jaringan konsumen luas
semakin membuka peluang untukku berkiprah di bidang usaha lain. Usaha penjualan
tiket pesawat pun kulakoni hingga membuahkan beberapa kantor cabang di berbagai
kota di negeri ini.
Kesuksesan ini tidak
patut membuatku angkuh, terutama di hadapan Tuhan. Hanya karena ridha-Nya aku
dapat meraih semuanya. Tidak luput bimbingan dan motivasi dari kedua orang
tuaku turut membuatku tegar dalam berbagai kesulitan.
Hidup ini memang selalu
berputar, terlahirku dalam kesederhanaan, tanpa sehelai kain yang memberiku
kehangatan, hanya dengan tangisku hadir di dunia ini, itu awal kehadiranku.
Begitu dengan hidupku penuh dengan tangis ku meluinya dan akhirnya aku berada
di puncak kehidupan yang indah, yaitu kesuksesanku yang membuat orang tuaku
bersyukur kepadaNya dan bangga padaku. Meski begini aku tak boleh terlena dengan
keadaan ini, jika demikian kuterlena akan terjatuhlah diriku dari tingginya
langit hingga berada di tanah yang kasar, yang akan membawa luka.
0 komentar:
Posting Komentar