RSS

Meraih Impian (tentang Resti Hartika)

Meraih Impian
  
Kini langkah takdirku dalam ujian tauhid dan kesabaran. Sejak kehadiranku dalam kehidupan ini aku selalu bersama kesederhanaan. Makin berlalu kehidupan ini, waktu berganti hari tergantikan minggu, minggu tergantikan bulan dan bulan tergantikan tahun. Hidup ini makin terasa berat dipikul, manis, pahit, asam dirasa. Terang terlihat gelap olehku, dan terlebih gelap terlihat kesendirian dalam rajut kehidupan.
Telah tamat pendidikanku menjadi seorang siswi kini aku harus bisa menyikapi hidup ini menjadi mahasiswi, tapi tidak giliranku. Lagi-lagi habis kikis impianku ditangan  masalah ekonomi dan keadaan fisiologis yang menghadangku.
Kala bulan bercahaya dengan cahayanya yang terang tapi tak menyilaukan bersama hembus angin yang sejuk. Terusik lamunanku saat terngiang sebaris kata ayah yang selalu berulang menelusup ke telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata-kata ayahku laksanakan meriam di rongga dadaku. Setiap kuingat kata-kata itu semakin berat beban kurasakan, terlebih urutanku sebagai sulung dari lima besaudara. Tidak mudah bagiku menjadi sulung. Kurasakan pula beban kedua orang tuaku yang semakin menjadi. Ayah, di luar segala kewajiban sebagai PNS, terlibat aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Tidak mengherankan jika bunda terpaksa turun tangan untuk menopang keuangan keluarga dengan membuka sebuah warung kecil-kecilan. Padat aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan menjadi menu wajib bagiku.
Ketika mentari dari ufuk timur bertahta bersama embun, aku jadikan langkah awal tukku menyajikan menu wajib itu (bekerja keras), yaitu aku langkahkan kakiku membawa alat tulis dan kesiapan pengetahuanku serta mental.
“Aku siap ujian tes tertulis untuk masuk fakultas kedokteran,” kata-kata yang terucap dalam pikirku yang terucap bersama semangatku dan sejuknya udara kala itu.
Sampai ruang ujian, aku duduk sesuai nomer urut ujian yang telah kudapatkan. Pengawas ujianpun datang dan membagikan kertas ujian serta LJK.
“Kertas soal ujian dan LJK telah kalian terima, sebelum mengerjakannya jangan lupa berdoa terlebih dahulu, lantas kalian kerjakan dengan waktu ujian yang telah ditetapkan yaitu 2 jam lamanya. Selamat mengerjakan, semoga menuai hasil yang baik.” Tutur pengawas ujian tertulis fakultas kedokteran tersebut.
Doa telah kupanjatkan kepada Allah SWT. Sekian banyak soal, 2, 3 soal menjadi kendala tukku. Keringat dingin aku alami, waktu ujian selesai, keluarlah seluruh peserta dari ruang ujian.
Selang waktu aku menunggu pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran aku selalu berdoa kepadaNya, agar aku lulus dalam tersebut. Tepat empat hari waktu berlalu dari hari pelaksanaan tes yang aku laksanakan waktu itu, telah tertera pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran di mading.
“Ya Allah terima kasih atas kuasaMu kini aku telah diterima di fakultas kedokteran yang aku impikan.” Syukurku atas kuasaNya dengan sujud syukur.
Setelah dinyatakan bahwa aku lulus ujian fakultas kedokteran, pihak TU mengabariku bahwa esok hari aku dan orang tua wajib hadir ke kampus untuk tes wawancara dan memenuhi biaya pendaftaran.
“Resti Hartika kamu telah lulus ujian tertulis, maka besok pagi kamu datang bersama orang tuamu ke kampus ya, untuk tes wawancara dan pemenuhan transaksi pendaftaran.” Kata petugas TU.
“ Baik Bu terima kasih, pasti akan saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, mereka pasti senang.” Jawabku dengan riang gembira.
Sesampaiku di rumah kumenghadap ayah dan bunda serta menyampaikan kabar gembira, bahwa diriku diterima di fakultas kedokteran.
“Ayah, Bunda, Resti diterima di Fakultas Kedokteran, besok pagi Ayah dan Bunda datang ke kampus ya untuk transaksi pendaftaran kuliah Resti.” Kataku dengan lembut dan memohon agar ayah dan bunda mau memenuhi apa yang kuinginkan.
“Nak, kami bangga mendengar berita ini, tapi..” haru bundaku menjawab kabar dariku.
“Tapi apa Bunda?”
“Tapi kita tak cukup uang untuk kamu masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!” ucap Bunda lembut tetapi pasti.
“Ya sudah Bun, saya mengerti.”
Langkah, demi langkah aku mundur dari hadapan ayah dan bunda. Menatap gelap malam dan terang bulan aku merenung dan menangis.
“Ya Allah padahal kuberharap Ayah dan Bunda dapat memenuhi biaya pendaftaranku tuk kuliah, tapi mereka tidak dapat mewujudkan impianku. Padahalkan aku kuliah fakultas kedokteran agar ketika kululus dan bekerja hasilnya untukku membantu adik-adik sekolah, tapi apa boleh buat, Kau tak menghendakkinya.” Sedihku dalam hati.
Tak larut ku dalam kesedihan, dan aku melangkahkan kaki dan tekadku tuk mendaftar STPDN. Namun belum-belum kumendayung apalagi melalui satu pulau aku sudah tenggelam dan terhampar dalam impianku yang satu ini. Tenggelamku, kegagalanku dalam pendaftaran STPDN ini karena satu syarat yang tak terpenuhi oleh diriku, yaitu kurangnya tinggi badan.
Makin dalam dan membekas luka ini, makin kering air mata ini terkuras tuk menangisi kelemahanku. Meski begitu ayah dan bundaku tiada putus-putusnya membangkitkanku hingga kedua kakiku benar-benar mampu berpijak dan menumbuhkan jiwa kekokohanku tuk terus berjuang.
Untuk mengobati luka hatiku, kuputuskan untuk membantu bunda menjaga warung. Ternyata pekerjaan sesederhana sebagai jembatan bundaku mencari nafkah ini membawa banyak pelajaran kehidupan, bagai pohon cabai, meski kecil buahnya pun banyak dan berguna. Maka dari itu di sisiku menjaga warung, sedikit demi sedikit kubelajar dari ketegaran bunda dalam menghadapi kesulitan hidup.
Sering kali ketika gelapnya malam dan kemerlap bulan bintang menjadi teman setia bunda, untuk menyambung helai-helai kain perca dengan benang-benang lembut dan tajamnya jarum, yang akan ia rubah menjadi bed cover tuk dijual. Habis gelap terbitlah terang, bunda mulai melangkahkan kakinya tuk menawarkan bed cover yang iya jahit dengan ketulusan dan kesungguhan hati tersebut dalam keramaian pembeli dan pedagang.
“Mbak tolong bantu saya, saya akan menitipkan bed cover ini di toko Mbak, untuk dijual,” begitulah bundaku menawarkan bed cover tersebut.
“Iya baiklah Bu, saya akan berusaha menawarkan bed cover ini kepada para pembeli, oh iya Bu, harganya berapa ya Bu satu bed covernya?” Tanya pemilik toko.
“Harga jualnya Rp 125.000,00 mbak, tapi Mbak cukup memberikan uang kepada saya senilai Rp 120.000,00 saja.”
“Ya sudah jadi semuanya ada Rp 1.200.000,00 ya Bu,” sambil memberikan uangnya.
“Terima kasih ya Mbak.”
“Iya kembali kasih Bu.”
Tiada putus doaku kepada Sang Khalik agar bunda senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin, serta agar kehidupan kami lebih baik dari kehidupan detik lalu dan detik ini.


“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan keluargaku,
Jadikanlahku Annisa Adzra , berbakti kepada orang tua,
dapat mengamalkan ilmu yang bermanfaat dengan baik dan benar. Meski hanya satu ayat.
Jagalah kami, izinkan kami memperbaiki kesalahan yang kami perbuat, dan izinkan kami menjadi yang terbaik,
Ya Allah tolong berikan watak bumi, ketika kami dalam kesulitan,
watak kesatria, ketika kami dalam kelabu, dan kegelapan.
watak Krisna , ketika kami dalam kehidupan yang indah, yang Engkau ridhai.
bawalah kehidupanku seperti air yang tenang.
dan tuk saat ini tolong bangkitkan ku tuk dapat mencari nafkah tuk keluarga dan dapat melanjutkan pendidikan.
Ya Allah jadikanlah kami mutiara diantara pasir-pasir yang berserakan di pantai.
 Aamiin Ya Robbal ‘alamiin.” Doaku kepada Sang Khalik.


Seiring berjalannya waktu salah satu doaku terkabul. Suatu hari ayah memutuskan untuk berhenti bekerja dan berorganisasi. Ayah mulai melirik dunia usaha. Sebagai langkah awal, ayah melahap dan berusaha terjun dalam imajinasi sederet buku-buku profil pengusaha sukses, seperti Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richard Branson, Donald Trump, dan Elang Gumilang. Benih pohon jiwa kewirausahaan tumbuh pesat pula dalam diriku, terlebih setelah aku menyerap isi beberapa buku yang menyampaikan motivasi.
Dua kali mata belati melukaiku sehingga kuterjatuh dalam kegagalan. Tak membuatku terserak dalam kehidupan, justru luka itu menjadi batu pijakanku tuk melangkah lebih jauh. Yaitu usai kesedihan dan kegagalan aku bisa melanjutkan pendidikanku di jurusan bahasa Inggris. Syukurku atas rencana Allah yang indah, dan kutekuni masa pendidikan tinggi sepenuh hati. Kendala financial mendorongku untuk merambah dunia kerja di samping kuliah. Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak Ica, saudara sepupuku, datang kepadaku. Menawarkan tuk bekerjasama denganku.
“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di san?” kata Kak Ica.
“Wah yang benar saja Kak? Terima kasih Ya Allah, Kakak tepat waktu banget deh, ya sudah aku setuju, kebetulan banget aku sedang membutuhkan pekerjaan tuk meringankan beban orang tua membiayai kuliahku.” Jawabku dengan riang.
“Iya, yasudah besok kita datang ke kios itu ya, lalu kita tata rapi untuk kita jualan.”
“Oke sip Kak.”
Semuanya sudah tertata rapi, dan tuk hari pertama ya Alhamdulillah mendapatkan penghasilan yang lumayan. Hari demi hari berlalu dan menuai hasil yang gemilang tak kusangka-sangka akan mendapatkan keuntungan seperti menanam padi, 1 biji tertanam 7 butir padi terkantongi olehku. Selain hasilnya dapat kugunakan untuk kuliah dapat kugunakan pula untuk membiayai sekolah adikku.
Suatu hari bunda berkunjung ke tokoku dan dia memuji atas keberhasilanku di dunia wirausaha.
“Wah, ternyata Nanda sudah meraub banyak untung nih.” Canda bundaku untuk memujiku.
“Ia Bunda Alhamdulillah, usahaku berjalan dengan baik, sehingga dapat kupakai tuk membayar biaya kuliah.” Jawabku dengan senang.
“Iya Alhamdulillah jangan lupa selalu bersyukur ya,” pesan bunda kepadaku.
“Iya Bunda, saying Bunda,” jawabku dengan kasih sayang, dan kupeluk bunda.
Seiring waktu, jaringan bisnisku meluas. Padatnya jadwal ceramah ayah sebagai motivator mendorongku untuk membantunya. Jadilah aku berkiprah dalam dunia event organizer. Lahan bisnis ini menuai sukses yang tergolong gemilang. Jaringan konsumen luas semakin membuka peluang untukku berkiprah di bidang usaha lain. Usaha penjualan tiket pesawat pun kulakoni hingga membuahkan beberapa kantor cabang di berbagai kota di negeri ini.
Kesuksesan ini tidak patut membuatku angkuh, terutama di hadapan Tuhan. Hanya karena ridha-Nya aku dapat meraih semuanya. Tidak luput bimbingan dan motivasi dari kedua orang tuaku turut membuatku tegar dalam berbagai kesulitan.

Hidup ini memang selalu berputar, terlahirku dalam kesederhanaan, tanpa sehelai kain yang memberiku kehangatan, hanya dengan tangisku hadir di dunia ini, itu awal kehadiranku. Begitu dengan hidupku penuh dengan tangis ku meluinya dan akhirnya aku berada di puncak kehidupan yang indah, yaitu kesuksesanku yang membuat orang tuaku bersyukur kepadaNya dan bangga padaku. Meski begini aku tak boleh terlena dengan keadaan ini, jika demikian kuterlena akan terjatuhlah diriku dari tingginya langit hingga berada di tanah yang kasar, yang akan membawa luka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar