SUNAN KALIJAGA
Ide cerita :
Lulu’ Urrohmah
Naskah Karya :
Murdoko Ibnu . R .
Tekhnik & montase :
Lulu’ Urrohmah
Elsi Yulianti
Narator :
Rini Aryani
Sutradara :Lulu’
Urrohmah
Didukung para pemain :
Adhipati Wilwatikta oleh oleh Putra
Josua
Dewi Ambarwati (Istri Adhipati) oleh Gaby
Raden Mas Said/ Sunan Kalijaga oleh M.
Rakha
Dewi Rayung Wulan oleh Tia Chairunnisa
Patih Gajah Lembana oleh Agie
Senopati Yudha Pati oleh Ari Armanda
Dayang 1 oleh Elsi Yulianti
Dayang 2 oleh Rini Aryani
Dayang
3 oleh Lulu’ Urrohmah
Sunan Bonang oleh Dirgantara
Sebuah kisah yang menceritakan
perjalanan hidup seseorang dalam mencari kebenaran hingga mendapatkan hidayah
Allah dalam tataran ma’rifat lahiriyah juga batiniyahnya.
Prakisah : Perang saudara yang
berkepanjangan di Majapahit, menyisakan penderitaan bagi seluruh rakyatnya,
penyakit dan kelaparan terjadi dimana-mana.
Kadipaten Tuban salah satu
bawahan Majapahit mau tidak mau terkena imbasnya, kelaparan dan kematian hampir
setiap hari selalu terjadi.
Raden Mas Said putra Adhipati
Wilwatikta tergerak hati untuk menolong rakyatnya, dengan mencuri bahan makanan
dari lumbung Kadipaten dia bagikan untuk rakyatnya. Lama kelamaan perbuatannya
tercium juga, berkurangnya bahan makanan di lumbung Kadipaten membuat Adhipati
Wilwatikta marah besar. Ia memerintahkan Patih Gajah Lembana dan para
senopatinya untuk menangkap pencuri itu hidup atau mati.
Setting 1, (Kadipaten Tuban).
Patih Gajah Lembana berhasil
menangkap pencuri di Lumbung pangan Kadipaten, segera dihadapkan kepada
Adhipati Wilwatikta.
Patih Gajah Lembana menghadap
Adhipati membawa tawanan.
Patih
Gajah Lembana : “Maaf Kanjeng Adhipati
hamba datang menghadap”, posisi berlutut sambil menyembah.
Adhipati : “Gajah
Lembana.. Apa ini pencuri Istana Kadipaten?”.
Patih
Gajah Lembana : “Daulat Gusti, ini
pencuri yang berhasil saya tangkap waktu menyusup ke lumbung pangan Kadipaten.
Adhipati : “Buka penutup
wajahnya aku ingin tahu siapa orangnya..!!”, dengan nada tinggi atau
memerintah.
Patih
Gajah Lembana dan Senopati Yudhapati membuka penutup wajah tawanan itu,
alangkah terkejutnya sang Adhipati juga permaisuri ketika mengetahui siapa
dibalik penutup wajah itu. Ternyata pencuri yang selama ini meresahkan Kadipaten
adalah Raden Mas Said yang tak lain putranya sendiri.
Adhipati : “Apa yang kau
lakukan Said? Tega-teganya kau menampar ayahandamu sendiri?”
Raden
Said : “Ampun
ayahanda.. semua yang ananda lakukan untuk menolong rakyat Kadipaten Tuban yang
kelaparan, kasihan mereka ayahanda. Apa ananda salah menolong rakyat
Kadipaten?”
Adhipati : “Tidak salah
kamu menolong, tapi kamu salah dalam menjalankannya, apa kamu tidak tahu Said?
Bahan pangan itu akan dikirim ke Istana Majapahit, untuk membantu pasukan di sana?”
Raden
Said : “Kenapa
kita harus membantu Majapahit ayahanda? Sedangkan rakyat kita sendiri dalam
kesusahan..?”
Adhipati : “Said!!! Tahu
apa kamu tentang kerajaan?!! Sekarang kamu hentikan perbuatanmu, atau kau akan menerima
akibatnya?!
Raden
Said : “Ampun ayahanda, kalau memang itu titah
ayahanda, ananda akan tetap menolong rakyat Tuban.
Adhipati : “Kalau itu mau
mu, mulai sekarang juga, tinggalkan Kadipaten Tuban, jangan pernah kembali ke
Istana Tuban sebelum kamu bisa menggetarkan Istana Tuban dengan lantunan
ayat-ayat Allah”.
Raden
Said : “Baiklah
ayahanda kalau memang itu keputusan ayahanda ananda mohon pamit”, menyembah
Adhipati lantas pergi.
Dewi
Ambarwati : “Ampuni Said Kang
Mas, suruh dia kembali, dia putra kita pewaris takhta Kadipaten Tuban, kalau
dia pergi siapa yang menggantikan Kang Mas Adhipati?”.
Adhipati : “Tidak Diajeng!
Aku seorang Adhipati, apa yang ku ucapkan tidak bisa ditarik lagi, semoga Said
menemukan kebenaran dalam perjalanannya.
Dewi
Rayung Wulan : “Ampuni Kang Mas Said
ayahanda, suruh kembali. Apa ayahanda tidak kasihan dengan Kang Mas Said?”
Adhipati : “Rayung Wulan,
seperti yang ayahanda bilang pada ibundamu, ayahanda tidak bisa menarik ucapn
ayahanda lagi. Kalau kamu kasihan dengan Kang Mas mu, kamu boleh ikut dengan
Kang Mas mu, sekarang juga kamu boleh pergi dari Istana Tuban”.
Rayung Wulan :
(sambil menangis) “Baik ayahanda, ibunda, ananda mohon pamit”.
Ambarwati :
“Jangan pergi putriku…” sambil menahan Rayung Wulan.
Adhipati :
“Biarkan dia pergi Diajeng” sambil memegang tangan Ambarwati.
Setting 2 (Hutan Gelagah Wangi)
Perjalanan
Raden Said setelah diusir dari Kadipaten Tuban sampai pada hutan lebat,
letaknya perbatasa antara perbatasan Kadipaten Tuban, Kadipaten Bojonegoro, dan
Kadipaten Madiun. Orang sekitar menyebutnya hutan Gelagah Wangi. Dari sini Raden Said merampas
semua pajak atau upeti yang dikirim untuk Kerajaan Majapahit, dia dikenal
dengan sebutan berandal Loka Jaya. Semua hasil rampasan ia bagikan untuk rakyat
yang kelaparan, namanya menggetarkan Majapahit. Dia disangjung rakyat tapi
dibenci punggawa kerajaan.
Suatu
hari melintas orang tua di Hutan Gelagah Wangi, Loka Jaya mengejar orang tua
itu karena tertarik pada tongkatnya, dengan napas terengah Loka Jaya berhasil
menyusul orang tua itu.
Loka Jaya : “Berhenti Pak tua!” dengan napas
terengah.
Sunan Bonang : “Ada apa anak muda kamu menghentikan
langkahku?”.
Loka Jaya : “Aku menginginkan tongkatmu Pak
tua, kelihatannya bagus dan mahal harganya”.
Sunan Bonang : “Tongkat ini hanya terbuat dari kayu anak muda, dan tidak ada harganya. Untuk apa
kamu mencari harta seperti itu anak muda?”.
Loka Jaya : “Akan ku bagikan kepada rakyat
yang membutuhkan”.
Sunan Bonang : “ Niatmu untuk menolong sesama itu bagus,
tapi caramu yang tidak benar , apa kamu membasuh dengan air kotor, tubuhmu akan
menjadi bersih? Merampok itu perbuatan dosa apapun alasannya. Sedangkan
hasilnya kamu bagikan pada rakyat, apa kamu mau membagi dosamu dengan mereka
semua? Kalau kamu mau harta lihatlah itu anak muda” menunjuk pohon dengan
tongkatnya. ”Itu pohon berbuah emas, itu halal anak muda, ambilah sesukamu..”
sambil berjalan….
Loka
Jaya kaget menghampiri pohon itu, memanjat dan mengambil buah yang dikiranya
emas. Nafsu yang menguasai sehingga ia terjatuh, dan buah itu menimpa tubuhnya,
berubah menjadi wujud aslinya, yaitu pohon buah kolang kaling. Setelah sadar
Loka Jaya terkejut, ternyata buah yang dikiranya emas hanyalah kolang-kaling.
Dia baru menyadari kalau orang tua yang di hadapannya tadi bukan orang
sembarangan. Dia mau berguru, maka dikejarnya orang tua itu.
Setting 3 (Di pinggir Sungai Terusan
Bengawan Solo).
Ketika napasnya hampir
terputus, Loka Jaya baru bisa menyusul orang tua itu, di pinggir Sungai Terusan
Bengawan Solo, Loka Jaya bersimpuh di hadapan orng tua tadi.
Loka Jaya : “Izinkan
aku tau siapa kamu orang tua?”.
Sunan Bonang : “Orang-orang
menyebutku Sunan Bonang”.
Loka Jaya : “Kanjeng
Sunan, izinkan saya berguru, saya ingin menebus semua kesalahan saya”.
Sunan Bonang : “Aku sebenarnya
tau siapa dirimu anak muda, kamu putra Adhipati Tuban. Apa kamu sudah siap
lahir batinmu untuk berguru kepadaku?”
Loka Jaya : “Lahir
batin saya sudah siap Kanjeng Sunan, apa pun yang Kanjeng Sunan perintahkan
akan saya junjung tinggi”.
Sunan Bonang : “Baiklah anak
muda, tapi aku sedang ada keperluan ke Istana Demak. Tunggu aku di sini (sambil
menancapkan tongkatnya), jangan pernah pergi sebelum aku kembali!”.
Loka Jaya : “Baik
Kanjeng Sunan….”
Sepeninggal
Sunan Bonang, Loka Jaya atau Raden Said duduk bersila di depan tongkat yang
ditancapkan Sunan Bonang tadi.
Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tubuhnya dipenuhi
tumbuhan dan semak belukar, tak terasa 3 tahun sudah Raden Said atau Loka Jaya,
bertapa menunggu kedatangan Sunan Bonang. Suatu ketika Sunan Bonang melintasi
wilayah itu dan baru teringat dengan Raden Said. Ketika Sunan Bonang datang ke
tempat dulu ia menancapkan tongkatnya, Raden Said tidak terlihat, yang ada
hanya gerombolan semak belukar. Ketika didekati, tenyata itu tubuh Said yang
ditumbuhi semak belukar. Dengan terenyuh
dibersihkan tubuh Said dari semak belukar. Sunan Bonang mencoba membangunkan
Said dari pertapaannya, tapi Said tidak bisa dibangunkan dengan cara biasa.
Sunan Bonang tersenyum dia tahu kalau Raden Said mendapatkan ma’rifat dari
Allah, maka tidak ada cara lain untuk membangunkannya selain dengan adzan di
telinga kanan dan dikhomati di telinga kiri. Barulah Raden Said terbangun dari
tapanya.
Sunan Bonang : “Assalammu’alaikum Said”.
Loka Jaya : “Wa’alaikum salam Kanjeng Sunan”.
Sunan Bonang : “Alhamdulillah kamu berhasil menyelesaikan
ujianmu, kamu mendapat hidayah dari Allah dalam Ma’rifat lahiriyahmu juga
batiniyahmu. Pakailah pakaian ini Said (menyerahkan baju berupa jubah dan
sorban putih). Kamu akan menggenapi wali di Demak, menjadi wali songo”.
Loka Jaya : “Tidak Kanjeng Sunan, biarlah
saya memakai pakaian serba hitam ini… Dengan begini saya akan selalu mengingat
akan dosa-dosa saya, maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri.
Sunan Bonang : “Baiklah Said kalau itu yang menjadi
keputusanmu, karena selama 3 tahun kamu bertapa di sini, aku memberimu nama
Jaga Kali, tapi orang-orang akan mengenalmu dan menyebutmu sebagai Sunan Kali
Jaga…”
Kesimpulan dari cerita Sunan Kali Jaga ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa yang kita ucapkan sebaiknya itu yang kita
jalankan, jadi kita akan dipercaya oleh sesama.
2.
Kita harus perduli kepad sesama, menolong pada
yang membutuhkan, tapi hendaklah pertolongan kita atau bantuan kita dengan cara
yang benar.
3.
Kalau kita punya keinginan dan mau menjalani
dengan sungguh-sungguh juga dengan sepenuh hati niscaya Allah pasti akan
mengabulkannya.
4 komentar:
keren bgttt
Wahhh cool bet
Anjayyy
bagus banget. udah kebayang kaya gimna kalo dipentaskan oleh anak2. apalgi dipentaskan oleh orang dewasa. pasti lebiih bagus lagi. izin simpan dan coba untuk dipraktekan
Posting Komentar